Selasa, 24 Februari 2009

Penjualan Sukuk Ritel BSM Lampaui Target

0 komentar
Jakarta - Penjualan sukuk ritel Bank Syariah Mandiri (BSM) tercatat 30% di atas target. Jika semula BSM menargetkan penjualan sukuk ritel sebanyak Rp 100 miliar, realisasi penjualannya ternyata mencapai Rp 130 miliar.

Demikian tercantum dalam keterangan tertulis BSM yang diterima detikFinance, Minggu (22/2/2009).

Dari data investor sukuk ritel yang masuk melalui BSM, terlihat bahwa sebagian besar pembeli sukuk ritel di BSM adalah dalam kategori ritel (individu). Jumlah investor yang masuk mencapai 1.472 orang.

Sukuk Ritel Indonesia adalah instrumen investasi berbasis syariah yang ditujukan untuk pasar ritel. Jangka waktu SR 001 ini adalah tiga tahun. Berdasarkan pengumuman pemerintah lewat Departemen Keuangan (Depkeu) pada hari Rabu (28/1/2009), imbal hasil atau yield atas SR 001 sebesar 12 persen per tahun. Harga SR 001 per unit adalah Rp 1.000.000 dan minimal pembelian lima unit atau Rp 5.000.000.

Masa penawaran SR 001 telah berlangsung sejak 30/1/2009 dan ditutup 20/2/2009. Imbalan atas sukuk ritel edisi perdana ini akan dibayarkan setiap bulannya pada tanggal 25. Penjualan SR 001 dilayani 50 dari 57 kantor cabang BSM.

Kelebihan target penjualan BSM ini berarti terjadi oversubscribed. Untuk mengatasi kelebihan permintaan tersebut, BSM telah mengajukan permohonan upsize ke Depkeu.

Hingga akhir Desember 2008 total aset BSM mencapai Rp 17 triliun lebih atau tumbuh sekitar 32%. Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai hampir Rp 15 triliun atau tumbuh kira-kira 34 persen. Pertumbuhan dana masyarakat itu terutama berasal dari tabungan, yang tumbuh sebesar Rp 1,4 triliun lebih menjadi Rp 5,283 triliun, atau tumbuh 36,44% dibanding posisi akhir pada 2007.

(lih/lih)
sumber: www.detik.com

Kamis, 19 Februari 2009

Ketika Barat Jatuh Cinta pada Sistem Ekonomi Syariah

0 komentar
Tahun 2009 tiba dengan bayang-bayang muram menghiasi wajah dunia. Krisis finansial global masih terus menghantui berbagai negara maju maupun berkembang. Berbagai perusahaan raksasa pun tumbang dan ancaman gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) merebak di mana-mana.

Di tengah krisis yang belum juga berkesudahan itu, ada cahaya yang memancar dari sistem ekonomi syariah. Sistem yang bersumber dari ajaran Ilahi ini terbukti tetap tangguh menghadapi hempasan serangan krisis bertubi-tubi, baik yang terjadi tahun 1998 maupun 2008 dan hingga kini, insya Allah sampai akhir dunia ini.

Keunggulan sistem ekonomi syariah, termasuk bank syariah, tidak hanya diakui oleh para tokoh di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Ketahanan sistem ekonomi syariah terhadap hantaman krisis keuangan global telah membuka mata para ahli ekonomi dunia. Banyak di antara mereka yang lalu melakukan kajian mendalam terhadap perekonomian yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah.

Tidak hanya itu, sejumlah negara di Eropa -- seperti Inggris, Jerman dan Perancis -- dan Amerika pun mulai mengadopsi sistem keuangan syariah ini. Mereka kini ramai-ramai mendirikan Unit Usaha Syariah (UUS), bahkan Bank Umum Syariah (BUS). Salah satunya adalah Inggris.

Berdasarkan studi sebuah organisasi independen yang mewakili industri pelayanan keuangan Inggris, International Financial Services London (IFSL), keuangan syariah tidak terkena dampak besar terhadap krisis ekonomi global. Pasalnya, keuangan syariah tidak menggunakan instrumen derivatif seperti halnya keuangan konvensional. Meski keuangan syariah juga memiliki risiko, namun syariah jauh dari ketidakpastian atau gharar. Seluruh perjanjian jual beli tidak berlaku bila objek perjanjian tidak pasti dan tidak transparan.

Jika terkena risiko, maka keuangan syariah akan berbagi risiko tersebut. Di bidang ritel, nasabah dan bank membagi risiko dari segala investasi sesuai dengan peraturan yang telah disetujui serta membagi keuntungan yang didapat. Melihat kedigdayaan keuangan syariah tersebut, kini Inggris mulai melirik sistem keuangan syariah ini. Di negara asal ekonom besar Adam Smith ini, industri syariah telah masuk ke banyak sektor kehidupan, termasuk kredit perumahan. Para nasabah yang kebanyakan non-Muslim merasa perlu mengambil kredit mortgage-nya melalui sistem syariah. Hal ini terjadi karena mereka tertarik dengan transparansi dan stabilitas bisnis perbankan syariah setelah kehancuran bank-bank konvensional akibat krisis properti, subprime mortgage.

Seorang warga Inggris asal Pakistan, Shabaz Bhatti, mengungkapkan, dirinya akhirnya memutuskan memindahkan kredit rumahnya dari bank konvensional ke bank syariah. Pria berusia 30 tahun ini menginginkan reliabilitas dan mempercayai bahwa sektor keuangan syariah yang sedang tumbuh di Inggris mampu memenuhi keinginannya.''Prosesnya sederhana, langsung dan sangat bagus di mana saat ini suku bunga dapat terus bergerak,'' kata Bhatti sebagaimana dilansir situs csmonitor.com.

Dulu Bhatti adalah nasabah Bank of Kuwait ketika memutuskan membeli rumah senilai 200 ribu dolar AS di distrik London, Croydon. Bank of Kuwait menghargai rumah itu seharga 270 ribu dolar AS berdasarkan perkiraan harga rumah nantinya dan mengatur pembayaran rumah dengan nilai tersebut selama 16 tahun.

Namun sekarang Bhatti merencanakan untuk kembali ke perjanjian tersebut dengan mentransfer kredit rumah miliknya di bank konvensional ke bank syariah. Dengan kondisi ekonomi saaat ini, rencana Bhatti kembali ke bank syariah bukan hanya karena alasan agama. ''Ini merupakan keputusan keuangan karena bank syariah lebih aman dan jelas untuk masa depan,'' kata pria yang bekerja sebagai instruktur sekolah mengemudi ini.

Sementara itu, otoritas Inggris pun berencana menjadi pemerintah Barat pertama yang menerbitkan sukuk sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sukuk tersebut pun dibuat sesuai dengan prinsip syariah yang melarang pembayaran bunga dan investasi untuk perjudian, alkohol, tembakau, dan pornografi. Itu terjadi seiring dengan peningkatan jumlah masyarakat Barat yang mencari investasi yang bertanggung jawab.

Lebih dari 26 bank di Inggris kini menawarkan produk keuangan syariah, termasuk lembaga besar seperti HSBC. Enam bank syariah telah menyediakan seluruh produk sesuai dengan hukum syariah. Islamic Bank of Britain (IBB) yang merupakan pionir dalam perbankan ritel telah memiliki 64 ribu nasabah dan cabang-cabang di London, Birmingham, dan Manchester. Baru-baru ini IBB meluncurkan kredit rumah dengan harga kompetitif dengan syarat-syarat yang diharapkan mampu menarik nasabah melebihi pasar utamanya, yaitu dua juta jiwa Muslim di Inggris.

Prancis kini juga akan mengembangkan ekononomi syariah. Ini ditandai dengan hadirnya sejumlah investor dari negara-negara Teluk dan Qatar Islamic Bank (QIB). Setidaknya tiga bank telah mengajukan izin operasi di Prancis, yaitu Qatar Islamic Bank, Kuwait Finance House dan Al Baraka Islamic Bank of Bahrain. Perwakilan dari QIB pun telah berkunjung ke Prancis untuk mengurus izin operasi bank.

Pengacara asal Prancis yang menyambut perwakilan QIB, Gilles Saint Marc mengatakan, peraturan perbankan syariah di Prancis telah siap. Setidaknya perizinan dua bank yang mengajukan ke pemerintah pun telah berada dalam tahap akhir. ''Kami menargetkan bank syariah pertama di Prancis telah siap sebelum akhir 2009,'' kata Marc. Marc mengatakan sejumlah bank lain pun telah menyatakan ketertarikannya menjual produk dan layanan syariah. Senat Prancis pun mencari cara untuk mengeliminasi rintangan hukum, khususnya pajak, untuk mengembangkan produk dan pelayanan keuangan syariah.

Menteri Keuangan Perancis, Christine Lagarde pun telah berjanji membuat penyesuaian peraturan hukum untuk perbankan syariah. Para pemimpin dunia pun, katanya, mencoba mencari prinsip baru untuk sistem keuangan internasional yang memiliki transparansi, tanggung jawab, dan moderat.

Sementara itu, bank syariah juga mulai berkembang di Amerika Serikat. Penerapan prinsip syariah yang tak mengenakan bunga pada pembiayaannya diterapkan oleh sebuah bank kecil di Michigan, AS bernama University Islamic Financial. Secara khusus bank tersebut memberikan pembiayaan sesuai dengan nilai syariah. Ini berarti bank tersebut tak menarik bunga dan tak ada transaksi yang memiliki risiko tinggi. ''Jika anda menggunakan pembiayaan sesuai prinsip Islam maka anda tak akan terkena krisis,'' kata Direktur University Islamic Financial Corp, John Sickler, sebagaimana dilansir dari startribune.com.

University Islamic Financial memiliki dua tipe pembiayaan, yaitu penjualan dengan cicilan dan sewa. Upah yang didapat dari pembiayaan tersebut sebanding dengan pembayaran bunga pada pinjaman tradisional. Saat krisis mengguncang perekonomian AS, sejumlah pakar di departemen keuangan negara adidaya tersebut juga mempelajari berbagai fitur penting perbankan syariah.

Saat itu pemerintah AS memandang perlu untuk membahas efektivitas sistem perbankan syariah dalam kondisi krisis keuangan global. Prinsip-prinsip syariah yang diterapkan dalam operasi bank syariah membuat sistem ini tak terkena dampak besar dari krisis ekonomi yang terjadi. Nilai-nilai Islam yang melarang transaksi perbankan syariah dari hal-hal berbau ribawi, maksiat, perjudian dan ketidakpastian menjadi keunggulan perbankan syariah. jar/yto/www.republika.co.id

Penjualan Sukuk Ritel Capai Rp 1,8 T

0 komentar
JAKARTA –- Penjualan sukuk ritel telah mencapai Rp 1,8 triliun. Jumlah tersebut telah mencapai 98 persen dari target indikatif yang disampaikan oleh 13 agen penjual. Pemerintah pun masih membuka peluang bagi agen penjual yang akan melakukan upsizing (peningkatan target penjualan).

Direktur Pembiayaan Syariah Departemen Keuangan, Dahlan Siamat menilai penjualan sukuk ritel yang telah mencapai Rp 1,8 triliun merupakan pencapaian yang cukup spektakuler. “Sampai saat ini sudah ada tujuh agen penjualan yang paling tinggi pencapaian penjualannya,” kata Dahlan kepada Republika, Selasa (10/2).

Lima agen yang mencatat penjualan tertinggi adalah Andalan Artha Advisindo Sekuritas, Bank Mandiri, HSBC, Danareksa Securities, dan Trimegah Securities. Dahlan mengatakan lima agen penjual tersebut telah mengcover 60 persen dari total penjualan kemarin. Namun Dahlan enggan mengungkapkan masing-masing penjualan yang telah dicapai agen penjual.

Untuk underlying asset sebesar Rp 13,5 triliun pemerintah telah menyiapkan aset gedung dan tanah milik Departemen Keuangan. Jumlah underlying aset tersebut terbagi untuk sukuk ritel dan global. Jika underlying asset tak mencukupi, salah satu yang akan dijadikan aset adalah Gelora Bung Karno (GBK). Meski angka penjualan sukuk ritel hampir mencapai target yang ditetapkan, jumlah underlying aset belum akan ditambah. “Dengan waktu penjualan yang masih tersisa underlying asset yang masih ada sepertinya cukup,” ujar Dahlan.

Sementara mengenai penerbitan sukuk global, Dahlan mengatakan waktu penerbitan sukuk belum dapat dipastikan. Menteri Keuangan, lanjut Dahlan, melakukan road show ke sejumlah negara untuk mengetahui minat investor internasional terhadap seluruh paper yang akan dikeluarkan oleh Depkeu, termasuk diantaranya sukuk global.

“Untuk sukuk global kita tetap mengawasi market intelligence pasar,” kata Dahlan. Underlying aset dan dokumen sukuk global pun telah siap, tinggal menunggu waktu tepat saat kondisi ekonomi global mulai membaik.

Nasabah Perorangan

Bank Syariah Mandiri (BSM) sebagai satu-satunya bank syariah yang menjadi agen sukuk ritel pun telah mencatat penjualan sebesar 60 persen dari target yang ditetapkan.

Kepala Bagian Wealth Management BSM, Husnelly mengatakan pihaknya fokus pada nasabah perorangan atau ritel dalam melakukan pemasaran. Meski demikian ia mengatakan setiap harinya selalu terdapat ratusan nasabah yang datang untuk membeli sukuk ritel, “Nasabah mungkin baru pertama kali mendengar sukuk. Selain nasabah BSM, nasabah bank lain juga bisa membeli sukuk sebagai alat investasi,” kata Husnelly.

Kehadiran sukuk ritel pun, tambah Husnelly, dapat membuat masyarakat semakin aware terhadap bank syariah. Imbal hasil yang dibayar setiap bulan membuat nasabah bank lain membuka rekening di BSM, sehingga jumlah nasabah pun bisa bertambah. Saat ini nasabah BSM mencapai 1,3 juta orang. “Adanya sukuk ritel juga akan membuat bank syariah semakin berkembang,” kata Husnelly.

Tercatat dana pihak ketiga (DPK) di 2008 mencapai Rp 15 triliun dan pembiayaan yang disalurkan sebesar Rp 13,3 triliun. Sukuk ritel yang memiliki imbal hasil sebesar 12 persen menjadi daya tarik bagi nasabah untuk membelinya. Apalagi suku bunga acuan BI (BI rate) telah turun menjadi 8,25 persen.

Masa penawaran sukuk ritel dilakukan hingga 20 Februari, Sukuk ritel memiliki tenor selama tiga tahun yang akan jatuh tempo hingga 25 Februari 2012. Penjatahan sukuk dijadwalkan pada 23 Februari, sementara penerbitan pada 25 Februari.

- gie/ah/www.republika.co.id

Rabu, 18 Februari 2009

Sejarah Perkembangan Industri Perbankan Syariah di Indonesia

0 komentar

Sejarah perkembangan industri perbankan syariah di Indonesia mencerminkan dinamika aspirasi dan keinginan dari masyarakat Indonesia sendiri untuk memiliki sebuah alternatif sistem perbankan menerapkan sistem bagi hasil yang menguntungkan bagi nasabah dan bank. Rintisan praktek perbankan syariah dimulai pada awal tahun 1980-an, sebagai proses pencarian alternatif sistem perbankan yang diwarnai oleh prinsip-prinsip transparansi, berkeadilan, seimbang, dan beretika.

Sebagai sebuah uji coba, masyarakat bersama-sama dengan akademisi kemudian mencoba mempraktekkan gagasan tentang bank syariah tersebut dalam skala kecil, seperti pendirian Bait Al-Tamwil Salman di Institut Teknologi Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta. Keberadaan badan usaha pembiayaan non-bank yang mencoba menerapkan konsep bagi hasil ini semakin menunjukkan, bahwa masyarakat Indonesia membutuhkan hadirnya alternatif lembaga keuangan syariah untuk melengkapi pelayanan oleh lembaga keuangan konvensional yang sudah ada.

Mengamati semakin berkembangnya aspirasi masyarakat Indonesia untuk memiliki lembaga keuangan syariah, maka para pemuka agama yang tergabung dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI) selanjutnya menindaklanjuti aspirasi masyarakat tersebut dengan melakukan pendalaman tentang konsep-konsep keuangan syariah termasuk sistem perbankan syariah.

Pada tanggal 18-20 Agustus 1990, MUI menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional Keempat MUI di Jakarta pada 22-25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam pertama di Indonesia. Kelompok kerja ini disebut Tim Perbankan MUI yang bertugas untuk secara konkrit menindaklanjuti aspirasi dan keinginan masyarakat tersebut serta melakukan berbagai persiapan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.

Hasil kerja dari Tim Perbankan MUI ini adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI). Akte pendirian BMI ditandatangani pada tanggal 1 November 1991 dan BMI mulai beroperasi pada 1 Mei 1992. Selain BMI, pionir perbankan syariah yang lain adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Dana Mardhatillah dan BPR Berkah Amal Sejahtera yang didirikan pada tahun 1991 di Bandung, yang diprakarsai oleh Institute for Sharia Economic Development (ISED).

Dukungan Pemerintah dalam mengembangkan sistem perbankan syariah ini selanjutnya terlihat dengan dikeluarkannya perangkat hukum yang mendukung sistem operasional bank syariah, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan PP No. 72 Tahun 1992. Ketentuan ini menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking system) di Indonesia, yaitu beroperasinya sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan dengan prinsip bagi hasil. Dalam sistem perbankan ganda ini, kedua sistem perbankan secara sinergis dan bersama-sama memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa perbankan, serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.

Selanjutnya, melalui perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, keberadaan sistem perbankan syariah semakin didorong perkembangannya. Berdasarkan Undang-Undang No.10 Tahun 1998, Bank Umum Konvensional diperbolehkan untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu melalui pembukaan UUS (Unit Usaha Syariah). Dalam UU ini pula untuk pertamakalinya nama “bank syariah” secara resmi menggantikan istilah “bank bagi hasil” yang telah digunakan sejak tahun 1992.

Dalam perjalanan waktu, pengalaman membuktikan bahwa sistem perbankan syariah telah menjadi salah satu solusi untuk membantu menyokong perekonomian nasional dari krisis ekonomi dan moneter tahun 1998. Sistem perbankan syariah terbukti mampu menjadi penyangga stabilitas sistem keuangan nasional ketika melewati guncangan. Kemampuan itu semakin mempertegas posisi sistem perbankan syariah sebagai salah satu potensi penopang perekonomian nasional yang layak diperhitungkan.

Pada akhirnya, sistem perbankan syariah yang ingin diwujudkan oleh Bank Indonesia adalah perbankan syariah yang modern, yang bersifat universal, terbuka bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Dengan positioning khas perbankan syariah sebagai ''lebih dari sekedar bank'' (beyond banking), yaitu perbankan yang menyediakan produk dan jasa keuangan yang lebih beragam serta didukung oleh skema keuangan yang lebih bervariasi, diyakini bahwa di masa-masa mendatang akan semakin tinggi minat masyarakat Indonesia untuk menggunakan bank syariah. Dan pada gilirannya hal tersebut akan meningkatkan signifikansi peran bank syariah dalam mendukung stabilitas sistem keuangan nasional, bersama-sama secara sinergis dengan bank konvensional dalam kerangka Dual Banking System (sistem perbankan ganda) Arsitektur Perbankan Indonesia (API). sumber: www.republika.co.id
Program Affiliate Indowebmaker

Pengikut

 

Investasi dan Bisnis. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com